Tilpon berdering. Pak Tondo, seorang duda yang tinggal sendirian di ujung suatu perumahan para pensiunan, beranjak bangun dari kursi malasnya, tempat nyamannya menghabiskan waktu senggang di depan televisi. Ia berjalan tertatih menuju pesawat tilpon yang menempel di sisi belakang kamar tamu. Ia berhenti melangkah sesaat, seolah sedang memulihkan keseimbangan tubuhnya. Beberapa detik pandangan matanya serasa berkunang-kunang.
Dari seberang terdengar suara menyapa, “Hello, Pa! Lanjutkan apa yang Papa mau sampaikan dan terpotong tadi pagi.”
“Halo anakku! Papa mau sampaikan, aku selalu bergembira di dalam kamu, dalam hidupmu, dalam kemenanganmu. Sebaliknya, aku juga merasa kecewa dalam kekalahanmu. Aku senang mendengarmu bercerita tentang kekesalanmu, tentang keinginanmu agar pertempuran di kantormu segera berakhir. Tetapi, aku tidak memintamu untuk untuk berhenti dan melarikan diri. Aku memintamu berjuang melawan sampai akhir. Apa yang kamu pikirkan sebagai kegagalan sebenarnya kemenangan. Apa yang kamu pikirkan sebagai stagnasi sebenarnya kemajuan. Apa yang kamu pikirkan tak seberapa sebenarnya adalah segalanya. Apa yang orang lain tidak melihat, aku melihat. Apa yang orang lain tidak tahu, aku tahu. Justru karena kamu merasa berjuang melawan di luar kemampuanmu, aku senantiasa mendoakanmu. Jangan berpikir bahwa aku melakukan sedikit, apalagi melupakanmu. Bahkan ketika hal-hal yang tampaknya telah luluh-lantak di sekitarmu, bahkan ketika tampaknya kamu mati langkah, aku tetap memintamu untuk tidak pernah berhenti sampai aku dibaringkan di peti mati di sini, di rumahku,” kata-kata Pak Tondo meluncur runtut mencoba menguatkan hati Herianto, anak semata wayangnya yang ditinggalkan mati isterinya sejak masih berusia enam tahun.
“Aku akan mengikuti apa kata Papa seperti yang sudah-sudah. Aku, Heri, anak tunggalmu, tidak pernah ingin menyerah. Tapi aku ingin semuanya berakhir. Kadang-kadang terlihat pertempuran akan melumatkanku dan rasanya tak lama lagi aku tiada,” Heri menjawab di seberang tilpon dengan suara tersedak.
“Benar anakku. Pertempuran dapat saja menelanmu. Kamu mungkin saja mengalami kemunduran bahkan kekalahan sesaat. Mungkin saja kamu membuat kesalahan, tergoyah, dan jatuh terjerembab. Namun, mungkin juga dengan itu semua, kamu justru menemukan dirimu sebagai sosok yang mampu mengatasi. Kamu tahu, aku mengatasi semua sejak kau masih usia dini, dan dengan kesaksianmu atas yang kulakukan kamu terpanggil untuk mengatasi semua sebagaimana aku memperlihatkan kepadamu. Kamu tidak sendirian dalam perang ini. Pada saat-saat pahit, di saat-saat ketika kamu paling membutuhkan, seluruh daya semesta menopangmu dan menghantarkan cintaku ke dalam hati dan jiwamu,” ungkap Pak Tondo tegar. Sama sekali tak mengesankan bahwa ia sudah melewati usia 79 tahun.
“Papa, aku beruntung mendengar pemikiranmu ini. Aku suka sekali kata-kata bernyawamu itu. Wow!” terdengar decak kagum Heri dari tilpon di seberang sana.
“Kamu hanya perlu mengistirahatkan pikiranmu ketika kamu merasa perlu istirahat, ketika kamu merasa tidak bisa melanjutkan. Tidak soal bahwa setelah bangun kamu akan memiliki rasa sakit lagi, kesulitan lagi. Justru dengan itu, kamu dilatih memaknai sukacita, kedamaian, dan kebahagiaan,” Pak Tondo berhenti sejenak. Ia mendengar suara desah nafas di tilpon seberang sana.
“Ya, ya, ya. Aku tidak akan menyerah, Papa. Meskipun kadang-kadang aku tergoda ingin menyerah, tetapi aku tidak akan menyerah. Aku mencintaimu, Papa. Terima kasih atas kata-katamu yang indah. Selamat malam, Papa. Selamat beristirahat,” sambungan tilpon pun terputus. (ES)
***Edy Suhardono adalah seorang doktor psikologi, psikolog, dan konsultan senior pada IISA Visi Waskita, Assessment, Consultancy, and Research Centre.
0 komentar:
Posting Komentar