Oleh FX Ridwan Handoyo (6 April 2011)
Bagian ke 2 ini akan lebih fokus pada asas swakramawi yang dianut oleh masyarakat periklanan dunia. Akan diulas apa itu asas swakramawi (self-regulation) dan apa saja dampak/konsekuensi dari asa swakramawi tersebut.Tulisan ini mengacu pada isi dari kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang dapat diunduh di www.p3i-pusat.com.
Pertanyaan-pertanyaan yang sering penulis terima pada saat membahas masalah etika periklanan antara lain adalah:
1. | "OK, bagus sudah ada panduan etika dalam industri periklanan, tapi kok mengapa masih banyak iklan yang melanggar ya?" |
2. | "OK, saya sudah tahu ada panduan etika periklanan, lalu kalau saya melanggarnya, apa sih sanksinya?" |
3. | "Setahu saya, kalau melanggar etika itu ya paling sanksinya cuma sanksi sosial kan? Apakah itu efektif?" |
4. | "Mengapa panduan etika itu tidak dijadikan bagian dari peraturan pemerintah atau sekalian dijadikan Undang-Undang Periklanan sehingga orang akan lebih takut akan sanksinya?" |
Dan mungkin masih banyak pertanyaan-pertanyaan senada lainnya. Bagian ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut, walaupun tidak secara runut. Pembahasan mengenai swakramawi (self-regulation) ini sangat penting artinya dalam memahami bagaimana kita (praktisi periklanan/pemasaran dan masyarakat pada umumnya) bersikap dalam menilai industri periklanan ini.
Pengertian Asas Swakramawi
Prinsip swakramawi (self-regulation) adalah prinsip yang dipakai secara universal dalam industri periklanan. Secara sederhana, swakramawi dalam industri periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa: "suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri."
Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 4 (empat) alasan utama penerapan asas swakramawi tersebut:
(i) | Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka. |
(ii) | Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bermasyarakat. |
(iii) | Swakrama dapat meniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan. |
(iv) | Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain. |
Dalam salah satu teori Psikologi Sosial mengenai perkembangan kepribadian dan tingkat kedewasaan manusia dikenal istilah locus of control (diperkenalkan oleh Julian B. Rotter pada tahun 1954) yang pengertian ringkasnya adalah (dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Locus_of_control):
One's "locus" (Latin for "place" or "location") can either be internal (meaning the person believes that they control their life) or external (meaning they believe that their environment, some higher power, or other people control their decisions and their life).
Individuals with a high internal locus of control believe that events result primarily from their own behavior and actions. Those with a low internal locus of control believe that powerful others, fate, or chance primarily determine events.
Those with a high internal locus of control have better control of their behavior, tend to exhibit more political behaviors, and are more likely to attempt to influence other people than those with a high external (or low internal respectively) locus of control. Those with a high internal locus of control are more likely to assume that their efforts will be successful. They are more active in seeking information and knowledge concerning their situation.
Internals tend to attribute outcomes of events to their own control. Externals attribute outcomes of events to external circumstances. For example, college students with a strong internal locus of control may believe that their grades were achieved through their own abilities and efforts, whereas those with a strong external locus of control may believe that their grades are the result of good or bad luck, or to a professor who designs bad tests or grades capriciously; hence, they are less likely to expect that their own efforts will result in success and are therefore less likely to work hard for high grades. (It should not be thought however, that internality is linked exclusively with attribution to effort and externality with attribution to luck). This has obvious implications for differences between internals and externals in terms of their achievement motivation, suggesting that internal locus is linked with higher levels of Need for achievement.
Internals were believed by Rotter (1966) to exhibit two essential characteristics: high achievement motivation and low outer-directedness.
Mengacu pada teori locus of control di atas, berarti asas swakramawi adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan internal locus of control dalam industri periklanan. Pendekatan inilah yang dipercaya akan dapat mendewasakan industri ini dan sekaligus meningkatkan produktifitas dan "kedewasaan" industri ini.
Dalam konteks pengembangan internal locus of control ini, maka tugas utama kita yang berada dalam industri periklanan bukanlah memikirkan sanksi bagi pelanggar etika tapi lebih pada edukasi, sosialisasi dan koordinasi dari segenap komponen dalam industri periklanan.
Etika dan Hukum Positif
Masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui kaitan etika dengan hukum positif. Ke dua hal ini seringkali dilihat secara terpisah, padahal ke duanya sangat terikat erat satu sama lain. Secara teoritis, dilihat dari sisi luasnya cakupan, etika seharusnya selalu lebih luas cakupannya daripada hukum positif (ya, etika yang lebih luas, bukan hukum positif!). Hukum adalah himpunan bagian dari etika. Pengertiannya adalah: hukum positif adalah sesuatu yang dibuat karena badan regulasi pemerintah berpendapat bahwa pedoman perilaku yang ada pada etika dinilai perlu ditulis dalam suatu dokumen resmi negara berikut sanksi yang tegas. Dalam situasi ideal, hukum positif tidaklah mencakup semua aspek yang ada pada cakupan etika. Seseorang dapat saja tidak sejalan dengan etika tanpa harus otomatis dinilai melanggar hukum positif. Tapi, setiap pelanggaran terhadap hukum positif adalah otomatis merupakan tindakan yang tidak etis.
Contoh sederhana untuk menggambarkan hubungan etika dengan hukum positif: sebagai seorang dosen, penulis menggunakan celana pendek, kaos oblong dan sendal jepit saat mengajar. Perilaku tersebut pasti akan dinilai tidak etis oleh manajemen perguruan tinggi tersebut. Tapi tindakan tersebut pastinya tidak melanggar hukum positif manapun. Seorang dosen yang mengajar sambil merokok, padahal perguruan tinggi tersebut sudah menerapkan aturan pemerintah mengenai area bebas merokok berarti melanggar hukum positif sekaligus melanggar etika perguruan tingginya.
Dalam dunia periklanan, sangat disayangkan (pendapat pribadi penulis) bahwa kondisi teoritis antara etika dan hukum positif tersebut sudah sangat kacau-balau. Banyak undang-undang di Indonesia yang mencampur-adukkan antara area cakupan etika dan area cakupan hukum positif. Salah satu contoh yang dapat disajikan di sini adalah kutipan dari UU RI No. 8/1999, tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 yang berbunyi: "Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang .... f. melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan."
Ya, pelanggaran etika periklanan di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum positif (dalam UU RI No. 8/1999 tercantum pada pasal 62 ayat 2 berupa "pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)").
Sebagai penganut swakramawi, kita pantas bersedih dengan kondisi ini karena aturan ini telah memindahkan locus of control industri periklanan dari internal menjadi eksternal! Pelanggaran etika iklan dapat dilihat bukan lagi sebagai ketakutan atas ketidak-dewasaan dirinya sendiri tapi lebih takut karena adanya sanksi hukum dari pemerintah.
Marilah kita "mengabaikan" adanya aturan-aturan pemerintah mengenai periklanan tersebut dan mari kita lebih fokus pada pedoman etika (Etika Pariwara Indonesia) yang dibentuk oleh para praktisi pemasaran dan periklanan di Indonesia! Mari kita lebih fokus pada penegakkan etika karena kita harus tetap yakin bahwa hanya industri kitalah yang paling mengetahui kondisi industri kita ini dan hanya kitalah yang dapat meneggakkan aturan-aturan internal kita sendiri. Toh, secara otomatis, setiap pelanggaran terhadap hukum positif adalah tindakan yang tidak etis.
Dalam pemahaman ini, penulis berprinsip penyusunan Undang-Undang Periklanan adalah sama-sekali tidak relevan. Meskipun dalam penyusunan UU tersebut pihak industri akan dimintakan pendapatnya, tidak dapat dipungkiri, UU tersebut akan melibatkan stakeholders lain; yaitu kalangan politisi seperti berbagai pejabat di berbagai departemen kementerian, berbagai partai politik dan komisi di DPR. Industri kita tidak akan dapat sepenuhnya mengontrol apa yang diinginkan oleh para stakeholders di luar industri periklanan ini!
Dari sudut lain, penulis percaya bahwa setiap UU otomatis menimbulkan kondisi high-cost economy! Selain proses penyusunannya yang akan memakan banyak waktu dan biaya, penegakkannya juga pastinya akan menimbulkan biaya-biaya yang sebenarnya seluruh biaya-biaya tersebut dibebankan kepada masyarakat melalui iuran pajak mereka! Belum lagi emotional cost yang harus ditanggung industri ini karena harus melakukan kompromi-kompromi dengan pihak-pihak yang sebenarnya berada di luar industri periklanan.
Dapat pula dianalogikan bahwa "semakin banyak hukum positif berarti negara itu semakin banyak masalah". Dan bagi yang percaya bahwa "hukum dibuat untuk dilanggar" berarti "semakin banyak hukum, semakin banyak pelanggaran". Uhhh!! Negara yang "tidak banyak aturan" berarti dihuni oleh masyarakat madani (civil society) yang mempunyai kekuatan moral dan etika yang kuat!
Sanksi
Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia bagian IV.E. disebutkan beberapa sanksi; yaitu:
1. | Bentuk sanksi terhadap pelanggaran memiliki bobot dan tahapan, sebagai berikut: |
1.1. | Peringatan, hingga dua kali |
1.2. | Penghentian penyiaran atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan |
Tidak ada sanksi hukum di sini! Apakah akan efektif? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya berpulang kepada diri kita masing-masing. Etika hanya punya satu "senjata" dalam kaitannya dengan sanksi; yaitu: rasa malu dan rasa bersalah! Seseorang (atau industri) yang dewasa adalah mereka yang menyadari kesalahannya dan malu untuk mengulangi kesalahan itu kembali. Seorang anak kecil (belum dewasa) lebih membutuhkan rasa takut dari pihak-pihak luar (orang-tua, sekolah dan sebagainya) untuk mencegah ia melakukan hal yang salah. Bukankah seorang dewasa seharusnya lebih mempunyai internal locus of control? Jadi, penilaian kita terhadap kedewasaan industri inilah yang akan menentukan apakah sanksi tersebut akan efektif ataukah tidak.
Seringkali kita mengabaikan sanksi sosial/organisasi yang dianggap "terlalu ringan". Padahal contoh-contoh yang ada di sekitar kita membuktikan hal yang sangat bertolak-belakang. Penulis akan coba sampaikan beberapa contoh untuk membuktikan bahwa pelanggaran etika dengan sanksi sosialnya jauh lebih kuat daripada sanksi hukum manapun juga.
Kasus pertama adalah jatuhnya regim Soeharto. Apakah pada saat Pak Harto mengundurkan diri posisi beliau adalah sebagai "terdakwa pelanggaran hukum"? Sejarah mencatat bahwa pada saat itu tidak ada pelanggaran hukum apapun yang ia lakukan! Lalu kenapa ia mundur? Tekanan moral dan etika dari masyarakat!
Kasus ke dua justru menampilkan situasi yang sebaliknya; kasus Koin Prita. Pada saat muncul gerakan masyarakat mendukung Prita Mulyasari (dengan Koin Prita), apakah Prita seseorang yang "benar" di mata hukum positif? Tidak! Pada saat itu, Prita adalah seorang terdakwa dan bahkan seorang yang telah diputuskan bersalah oleh hukum positif sehingga dikenakan sanksi pidana (denda dan tahanan). Apakah Prita di mata masyarakat (yang melihat dari sudut moral dan etika) juga menilai ia melakukan kesalahan? Tidak! Dukungan terhadap program Koin Prita membuktikan hal tersebut. Bahkan karena tekanan moral masyarakat tersebut sanksi pidana Prita dapat dicabut.
Ya, etika dapat merubah hukum positif, bukan sebaliknya. Hal ini membuktikan kekuatan etika dan moral masyarakat. Gejolak politik yang terjadi saat ini di Afrika, Timur Tengah serta bebeberapa negara teluk memberikan kita bukti-bukti kekuatan etika dan moral terhadap kekuatan hukum. Seorang Hosni Mobarak yang telah berkuasa selama 30 tahun adalah identik dengan hukum di negara Mesir.
Penutup
Sebagai penutup dari 2 (dua) bagian tulisan mengenai dasar-dasar etika periklanan ini, penulis ingin sekali lagi menekankan pentingnya pemahaman dan pembedaan antara iklan dengan berita. Analisa dan justifikasi kita atas etika periklanan haruslah bersandar pada pedoman etika periklanan yang berlaku di masyarakat kita. Kitab Etika Pariwara Indonesia hanyalah salah satu panduan yang berusaha mencatat (sehingga dapat dibukukan) aspek-aspek sosial budaya masyarakat Indonesia yang dapat berfungsi sebagai negative consumer insights; yaitu hal-hal yang dinilai sebagai tidak etis dalam konteks iklan di Indonesia. Kitab tersebut adalah milik seluruh masyarakat Indonesia dan terbuka untuk pengembangan lebih lanjut sehingga selalu sejalan dengan kondisi sosial budaya masyarakat terkini.
Himbauan terakhir adalah: jangan terpaku pada sanksi! Marilah kita lebih fokus pada proses pendewasaan industri ini dengan melakukan edukasi, sosialisasi dan koordinasi dari segenap komponen dalam industri periklanan. Penegakkan etika periklanan adalah salah satu bagian penting dalam proses penegakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa kita dan sekaligus satu langkah penting dalam mencapai kondisi masyarakat madani (civil society).
0 komentar:
Posting Komentar